Penjelasan atau Eksplanasi Sejarah

penjelasan atau eksplanasi sejarah

Penjelasan Sejarah 

Penjelasan (eksplanasi) dalam setiap pembahasan mengenai metodologi sejarah merupakan salah satu pusat utama yang menjadi sorotan.

Masalah penjelasan menjadi topik utama yang hangat diperdebatkan khususnya oleh para ahli filsafat sejarah karena menyangkut kontroversi mengenai logika yang menjelaskan hubungan diantara pernyataan fenomena-fenomena yang ada.

Disini penjelasan mempunyai arti yang luas mencakup apa yang khususnya dikenal oleh sejarawan dengan sebutan kausalitas (causation) serta bentuk-bentuk penghubung lain ketika mensisntetiskan fakta-fakta.

A. Deskripsi dan Eksplanasi

Banyak yang menyamakan keduanya, namun sebenarnya dapat dibedakan. Fakta sejarah merupakan deskripsi mengenai masa lalu. Contohnya Proklamasi Kemerdekaan RI dilaksanakan di Jakarta pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB oleh Ir. Soekarno.

Ini merupakan deskripsi fakta yang menyebutkan apa, dimana, kapan, siapa dan jawaban itu bersifat faktual. Para sejarawan merasa tidak puas dan berhenti pada pertanyaan-pertanyaan deskriptif dan jawaban faktual saja. 

Mereka ingin mengetahui lebih jauh mengenai hal-hal yang berada dibalik fakta-fakta itu dengan cara : mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa dan bagaimana yang merupakan pertanyaan-pertanyaan analisis-kritis dan bermuara pada suatu penjelasan atau keterangan sintesis sejarah. 

Sejarah yang sebenarnya atau asli (history poper) menurut (Berkhofer, 1969 dan Carr, 1985 dalam Helius (Sjamsuddin, 2019) ialah jika dapat menjelaskan atau memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa.

Sejarah adalah keterangan, penjelasan, atau eksplanasi dari masa lalu. Jadi semua menuntut keterangan, penjelasan, eksplanasi yang kalau ditulis menghasilkan buku yang tebal, sedangkan jawaban-jawaban faktual tidak lebih panjang dari pernyataan-pernyataan deskriptif. Tanpa deskripsi-deskripsi faktual akan mustahil untuk membuat eksplanasi sejarah, sebab eksplanasi tanpa fakta-fakta adalah fantasi. 

B. Model-Model Penjelasan Sejarah

Covering Law Model  (CLM)

Istilah ”Covering Law Model” atau CLM diberikan oleh ahli filsafat sejarah William Dray sebagai salah satu bentuk teori eksplanasi untuk segala macam penyelidikan (inquiry), termasuk sejarah (Dray, 1969 dalam Helius Sjamsuddin, 2019).

Dray ini tidak menyetujui cara penjelasan yang seperti ini. Ada beberapa nama lain lagi yang diberikan oleh beberapa ahli filsafat sejarah, seperti.

  • Deduktive Model” (Michael Scriven, dalam Gardiner, ed., 1959:444)
  • Deductive Model of Explanation” (Fischer,1970:xi)
  • Deductive-Nomological (DN) Reasoning” (Llyod, 1988:48-49)
  • Regularity Interpretation” (Patrick Gardiner, 1968:65)
  • Hempelian Model” (C.G Hempel dalam Fischer, 1970:xi)
  • Popper-Hempel Model of Explanation” atau “Popper-Hempel Theory” oleh Karl Popper (Berkhofer, 1969; Llyod, 1988:62).

Sebagian besar ahli filsafat sejarah analistis (menurut tradisi empiris-positivis dari kubu naturalis) telah mencoba memaksakan pengetahuan sejarah dalam suatu formula “hukum umum” dengan istilah-istilah tadi.

Hukum umum adalah suatu pernyataan dari bentuk kondisi universal yang sanggup dikonfirmasi atau dibantah berdasarkan bukti-bukti penemuan empiris yang sesuai. Istilah hukum disini menyarankan pernyataan yang dibicarakan itu benar-benar dapat dikonfirmasi dengan baik oleh evidensi yang relevan.

Hempel mengatakan penjelasan dalam sejarah harus dapa tditerangkan oleh hukum umum atau hipotesis universal atau hipotesis dari bentuk universal.  Secara metodologis, menurutnya tidak ada perbedaan antara penjelasan dalam ilmu alam dengan sejarah.

Penjelasan sejarah itu juga bertujuan membuat hubungan-hubungan kausatif, yaitu penjelasan ilmiah mengenai peristiwa-peristiwa yang hanya diperoleh dengan menempatkan peristiwa-peristiwa itu dibawah hipotesis, teori dan/ hukum umum, sama seperti ilmu alam.

Intinya penjelasan itu diperoleh dengan cara mendeduksikannya dari pernyataan-pernyataan tentang hukum-hukum umum dan kondisi-kondisi awal. Penjelasan ilmiah menurut Hempel :

Penjelasan mengenai kejadian dari suatu peristiwa khusus E pada suatu tempat dan waktu tertentu, terdiri sebagaimana yang biasa dinyatakan, dalam penunjuka sebab-sebab atau faktor-faktor penentu dari E.

Dengan penegasan bahwa suatu rangkaian/set peristiwa-peristiwa -katakanlah C1,C2.., Cn- telah menyebabkan peristiwa itu dijelaskan. Jadi, penjelasan ilmiah dari peristiwa yang dibicarakan itu terdiri dari: 

  • suatu rangkaian pernyataan-pernyataan yang menyatakan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu C1, ... Cn pada suatu tempat dan waktu tertentu,
  • suatu rangkaian hipotesis universal seperti : pernyataan-pernyataan dari kedua kelompok secara rasional dikonfirmasi dengan baik oleh evidensi empiris; dari kedua kelompok pernyataan itu yang menyatakan terjadinya peristiwa E dapat dideduksikan secara logis.

Dari kutipan itu, menurut Hempel kelompok1 akan menggambarkan kondisi-kondisi awal dan batas untuk terjadinya pertiwa akhir. Kelompok 1 menyatakan kondisi-kondisi penentu (determining condition) untuk peristiwa yang harus dijelaskan.

Sedangkan kelompok 2 berisi hukum-hukum umum yang menjadi dasar dari penjelasan. Susunan logika keterangan Hempel dijelaskan begini, Fenomena yang harus dijelaskan disebut fenomena eksplanandum, yaitu peristiwa jenis khusus E.

Kejadiannya diharapkan berlangsung menurut suatu kerjasama antara kondisi-kondisi faktual khusus (C1, ... Cn) dari kelompok 1 dengan hukum-hukum umum dari kelompok 2 yang merupakan ekspresi dari keseragaman. 

Kombinasi ini disebut eksplanans, dan kerja sama keduanya sebagai permis-permis mengantarpada suatu kesimpulan deduktif yang disebut eksplanandum dari kejadian khusus E. Jika eksplanansnya benar, maka eksplanandumnya juga benar. Contohnya

  • Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat pada 1776 dan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 (Revolusi Indonesia).
  • Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776 Pembukaan UUD 1945

Permis Mayor:

Kita berpegang kepada kebenaran-kebenaran ini sebagai bukti sesungguhnya, bahwa semua manusia diciptakan sama, bahwa mereka diciptakan oleh Pencipta mereka dengan hak-hak tertentu yang tidak dapat di ganggu gugat, diantaranya hak-hak untuk hidup, kemerdekaan, dan memperoleh kebahagiaan...

Permis Minor:

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena idak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan

Ini menunjukkan bahwa Kemerdekaan Amerika Serikat 1776 dan Kemerdekaan Indonesia 1945 masing-masing merupakan kejadian khusus jenis E (Hempel) yang harus dijelaskan (eksplanandum).

Penjelas-penjelasannya (eksplanans) ialah berupa hukum universal (permis major) dari kelompok 2 Hempel dan kondisi penentu (permis minor) dari kelompok1 Hempel. Kedua permisnya menghasilkan konklusi sebagai deduksi logis yang menjelaskan peristiwa kemerdekan Amerika mupun Indonesia.

Implikasi CLM ini ialah bahwa hukum universal akan berlaku dengan sendirinya untuk kejadian-kejadian khusus berupa kemerdekaan bangsa-bangsa lain yang terjajah pada waktu dan tempat yang berbeda.

Hermeneutika 

Hermeneutika (hermeneutics) berasal dari bahasa Yunani hermeneutikos yang berarti penjelasan, yang semula digunakan untuk mengkritisi orientasi teks.

Awalnya hermeneutika ini merupakan alat kritik terhadap sumber-sumber sejarah, kemudian menjadi suatu tradisi berpikir yang mencoba menjelaskan konsep Verstehen, pemahaman.

Hermeneutika mencoba memahami makna sebenarnya (true meaning) dari sebuah dokumen, sajak, teks hukum, tindakan manusia, bahasa, budaya asing, atau dapat juga diri sendiri. Hermeneutika termasuk kubu historikalis. 

Hermeneutika bertolak dari tradisi-tradisi relativisme (humaniora) dengan tokohnya seperti (Dilthey, Croce, dan Collingwood); intensionalisme (berbuat dengan maksud atu mencapai tujuan tertentu.

Tokohnya Rickert, Windelband, dan Dilthey); dan filsafat idealisme (Croce dan Collingwood). Umumnya berpendapat bahwa perbuatan manusia hanya lebih sesuai sebagai bentuk kajian ideografik (kekhususan, partikularistik) daripada kajian nomotetik (keumuman, generalistik).

Hermeneutika dengan tegas menekankan perbedaan antara ilmu alam dengan ilmu kemanusiaan. Asal-usul hermeneutika yang sangat panjang dapat diurutkan dari zaman Aristoteles (384-322 SM), hanya saja baru dainggap penting sejak Giambattista Vico (1668-1744) yang menulis buku The New Science (1723).

Beliau mempertentangkan asal-usul yang berbeda antara alam dengan masyarakat atau sejarah. Jika alam merupakan ciptaan Tuhan, sedangkan masyarakat atau dunia dari bangsa-bangsa atau sejarah manusia merupakan hasil ciptaan manusia.

Sesudah Vico, hermeneutika diperkaya dan dipertahankan dari berbagai sudut pandang, seperti romantisisme (Heder), hereneutika awal (Schlelerrmacher dan Dilthey), neo-Kantianisme (Windelband dan Rickert), fenomenologi (Husserl dan Heidegger), filsafat sejarah spekulatif (Croce dan Collingwood), sosiologi (Weber), psikologi (Freud), dan filsafat bahasa (Wittgenstein).

Pengertian hermeneutika erat hubungngannya dengan penfsiran teks-teks dari masa lalu dan penjelasan perbuatan perilaku (atau para pelaku) sejarah.

Tugas sejarawan adalah memahami objek kajiannya dengan cara menafsirkan makna-makna dari semua peristiwa, proses serta perbuatan keseluruhan masyarakat manusia. Sejarawan menjelaskan masa lalu dengan mencoba menghayati dan menempatkan dirinya dalam diri pelaku sejarah (empati), mencoba memahami dan menjelaskan bagaimana para pelaku sejara berpikir, merasakan, dan berbuat dengan cara sejaawan itu menggunakan latar belakang kehidupan dan pengalamannya sendiri.

Ada 2 cara menghadapi teks-teks sumber sejarah, yaitu : 

  1. Teks ditafsirkan/dipahami dahulu; dan
  2. Perbuatan pelaku sejarah baru dijelaskan.

Tokoh-Tokoh Hermeneutika

1. Wilhelm Dilthey (1833 -1911)

Doktrin utamanya adalah verstehen (understanding, pemahaman, pengertian) yang merupakan kunci keyakinannya mengenai hakikat pertimbangan sejarah. Semua ekspresi yang bersifat fisik (physical expressions) adalah ekspresi dari peristiwa-peristiwa mental (mental events), atau keadaan-keadaan (states).

Tugas dari verstehen (yang merupakan suatu kemampuan atau suatu proses) ialah menghubungkan setiap ekspresi yang ada dengan peristiwa mental atau keadaan. Menurutnya ada dua macam verstehen (pemahaman), yaitu pemahaman dasar (elementary understanding) dan pemahaman lebih tinggi (higher forms understanding). 

Yang pertama, berupa ekspresi-ekspresi individual, sedangkan yang kedua berfungsi menyususn berbagai ekspresi yang disediakan oleh pemahaman elementer sehingga menjadi suatu struktur yang saling berkaitan (koherens).

Pemahaman dasar dapat berfungsi tanpa perantara, tetapi pemahaman yang lebih tinggi harus menggunakan beberapa rujukan seperti inferensi berupa berpikir menurut analogi atau menempatkannya di bawah suatu tipe umum.

Dalam keadaan tertentu, misalnya ketika sejarawan mencoba memahami pelaku-pelaku sejarah (juga teks karya sastra atau penyair), ia dapat secara imajinatif merekreasi (e-create) dalam pikiran-pikirannya sendiri mengenai peristiwa-peristiwa atau emosi-emosi yang telah terjadi atau dialami oleh pelaku yang bersangkutan.

Pemahaman mengenai orang lain dan ekspresi kehidupan (life-expressions) dibangun menurut pengalaman kita sendiri dan atas dasar pemahaman kita mengenai pengalaman itu serta hubungan timbal-balik terus menerus antara pengalaman dan pemahaman.

Ekspresi kehidupan itu muncul dalam dunia indera sebagai ekspresi pikiran sehingga memungkinkan mengetahui peristiwa-peristiwa mental. Kehidupan mental dapat dipahami berkat ekspresi kehidupan yang berupa konsepsi, pertimbangan (judgments), ide-ide yang lebih luas, serta perbuatan-perbuatan (actions) yang berhubungan dengan keadaan mental yang diekspresikannya. 

Kejelasan pemahaman proses menghidupkan kembali (reliving) dan menghasikan kembali (reproducing) peristiwa-peristiwa masa lalu, atau sesuatu yang berada di luar pengalaman langsung kita sendiri, tergantung kepada kemampuan pribadi seseorang.

Pemahaman yang sistematis mengenai ekspresi kehidupan yang pasti ini dinamakan oleh Dilthey: Eksegesis (Exegesis) yaitu suatu bentuk eksplanasi atau interpretasi yang kritis. Tugas eksegesis adalah menafsirkan catatan-catatan tertulis yang merupakan bukti kehadiran manusia. Kiat (art) ini merupakan dasarfilologi dan ilmu atau sains mengenai kiat ini disebutnya hermeneutika. Ada hubungan antara kritik (sumber) dengan eksegesis.

2. Hans-Georg  Gadamer ( 1900-2002)

Baginya sains kemanusiaan termasuk sejarah mempunyai cara-cara atau metode tersendiri yang otonom untuk mengetahui. Sebagian dari cara untuk mengetahui itu dibutuhkan memiliki suatu kesadaran sejarah yaitu suatu kesadaran penuh akan historis setiap hal yang ada sekarang dan relativitas dari semua opini.

Kesadaran sejarah lebih ke bagaimana orang, manusia, negara bisa menjadi seperti ini/ yang ada sekarang. Bagi Gadamer mengenai pemahaman mempunyai struktur yang disebut lingkaran hermeneunitik, yakni hubungan sirkular antara keseluruhan dan bagian-bagiannya. 

Tokoh hermeneutika dialogis, baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Artinya, kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan.

Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog. Konsep Gadamer yang menonjol dalam hermeneutika adalah menekankan apa yang dimaksud ”mengerti”, setiap pemahaman merupakan sesuatu yang bersifat historis, dialetik dan peristiwa kabahasaan.

3. W.H. Dray (1921)

Dialah yang memberikan istilah “Covering Law Model” pada bentuk eksplanasi Hempel Argumentasinya yang historikalis menginginkan pemisahan yang tegas antara sejarah dengan ilmu alam dan ilmu sosial. Ia melihat sejarah sebagai suatu diskursus (discourse) universal yang berbeda. Hakikat sui generis sejarah dimungkinkan oleh dua cara. 

Pertama, orientasi sejarawan terhadap dunia sosial berbeda sehingga sejarah hanya peduli secara fundamental kepada individualitas. Kedua, karena tindakan manusia yang serba tidak pasti (in-determinism).

Sejarah sebagai suatu diskursus memiliki konsepsi penjelasan yang tidak termasuk kategori determinisme deduktif (seperti CLM). Sejarah adalah rekonstruksi kehidupan manusia individual pada waktu dan tempat yang berbeda, sedangkan sains alam berusaha meregularisasi dan memprediksi .

Baginya doktrin “covering law” merupakan penghambat pemahaman dan penilaian terhadap kehidupan manusia. Dalam bukunya Laws and Explanation in History, Dray mencoba menunjukkan hakikat sui generis dari cara berpikir sejarah yang ada.

Sejarah memerlukan suau metode yang praktis dan rasional khusus dalam analisis kausal, bukan menempatkannya di bawah suatu kategori-kategori umum dan hukum-hukum seperti CLM. Sebagai seorang yang anti-determinisme.

Dray berpendapat bahwa hanya metode penafsiran (interpretive) yang dapat digunakan. Metode ini menggunakan ekspresi-ekspresi manusia sebagai bukti dari motivasi-motivasi kausal yang subjektif pada aksi perbuatannya. Baginya sejarah merupakan hasil dari perbuatan-perbuatan individual yang bebas .

4. R.G. Collingwood (1889-1943)

Ia menyanggah sikap skeptisisme dari para ahli ilmu alam. Menurut kaum skeptis, adalah mustahil untuk dapat mengandalkan pengetahuan mengenai masa lalu karena tidak dapat lagi mengalami masa lalu itu.

Sebaliknya, menurut Collingwood, masa lalu itu dapat diulang kembali dalam batin kita sehingga pengetahuan mengenai masa lalu itu bukanlah yang mustahil. Apa yang ada dalam pikiran tokoh sejarah dapat “diulangi kembali” (re-enact) dan karena itu, teorinya dikenal pula dengan sebutan re-enactment. 

Sejarah merupakan “re-enactment” dari pengalaman masa lalu. Tugas sejarawan ialah “re-enact” masa lalu itu dalam pikirannya. Perbedaan pokok antara sejarawan dengan peneliti ilmu alam, menurut Collingwood, terletak pada.

  • Sejarawan mengkaji kelakuan lahiriah maupun batiniah atau pikiran (mind, thought) dari objek yang ditelitinya (manusia masa kini dan masa lalu).
  • Dalam mneghayati kembali atau membangkitkan kembali (re-enact) situasi yang berhubungan dengan seorang tokoh sejarah, misalnya sejarawan meneliti batin atau pikiran dari tokoh itu. Oleh sebab itu, menurut Collingwood, semua sejarah adalah sejarah alam pikiran. 
  • Dalam “re-enactment” sejarawan tidak pasif menyerah begitu saja lalu lebur dan luluh dalam pikiran para pelaku sejarah yang dikajinya.
  • Kegiatan itu dilakukan sejarawan secara aktif dengan berpikir kritis. Ia tidak saja “menghidupkan kembali” (re-enact) pikiran masa lalu, akan tetapi dalam melakukan itu  ia dikaitkan dengan pengetahuannya sendiri.
  • Oleh sebab itu, dalam melakukan “re-enacting” ini, ia juga melakukan kritik sambil membuat pertimbangan sendiri mengenai nilai-nilai, serta mengoreksi kesalahan-kesalahan yang kebetulan dapat ditemukannya. (Collingwood, 1956 dalam Helius Sjamsuddin, 2019)

Penutup

Demikianlah pembahasan mengenai Penjelasan atau Eksplanasi Sejarah. Semoga pembahasan tersebut dapat memberikan pelajaran dan pengetahuan tentang sejarah, serta menambah wawasan dalam informasi sejarah.

Posting Komentar untuk "Penjelasan atau Eksplanasi Sejarah"