Perkembangan Tarian Gandrung di Banyuwangi

perkembangan tarian gandrung di banyuwangi

Banyuwangi merupakan salah satu kabupaten yang terletak di pulau Jawa, tepatnya di Provinsi Jawa Timur. Mayoritas penduduk lokal Banyuwangi adalah suku Osing yang dipercaya merupakan sub-suku Jawa, dan suku lain yang hidup dengan damai seperti, suku Madura, suku Jawa, Bali dan Bugis.

Asal Usul Tarian Gandrung

Kata Gandrung secara etiologis diartikan sebagai ‘cinta’, ‘terpesona’, atau ‘tertarik’. Menurut Kamus Kawi Jawa, Gandrung berarti ‘tontonan’, ‘melihat kepadanya’, ‘terpikat atau jatuh cinta’. Sedangkan dalam bahasa Jawa Gandrung berarti ‘jatuh cinta sampai tergila-gila'.

Tarian Gandrung Banyuwangi adalah seni tari yang ditampilkan oleh seorang perempuan yang menari berpasangan dengan laki-laki yang dikenal sebagai pemaju.

Pertunjukan Gandrung dipentaskan dalam berbagai perayaan, seperti pernikahan, khitanan, kaul, dan upacara kolektif seperti bersih desa, petik laut, peringatan hari besar nasional, bahkan sekarang pemerintah memasukkan tari Gadrung dalam agenda Banyuwangi Festival.

Para ahli antropologi dan peminat seni mencatat Gandrung Banyuwangi merupakan perkembangan ritual Seblang, selamatan desa atau upacara bersih desa yang diadakan setahu sekali yang dianggap sebagai ritus di Banyuwangi. Ritus Seblag berkaitan dengan kultus kesuburan atau pemujaan Dewi Padi yang merupakan peninggalan kebudayaan pra-Hindu.

Pandangan bahwa Gandrung adalah perkembangan dari Seblag didasarkan pada cerita tentang keluarga Midah berkaitan dengan penyakit yang diderita anakya, Semi. Diceritakan secara lisan bahwa sekitar tahun 1895, seorang ibu yang bernama Midah yang mempunyai anak sebanyak 14 orang mengalami musibah karena salah satu anaknya yang bernama Semi menderita sakit keras dan sukar disembuhkan.

Ketika ia hampir putus asa melihat penyakit anaknya, ia menyampaikan nadir sebagai berikut.

“adung sira mari, sun dadekna seblang kadung sira singmari, ya using”

Artinya:

“jika kamu sembuh, kujadikan kamu penari seblang kalau tidak sembuh ya tidak”

Tidak lama kemudian Semi sembuh dari sakitnya. Maka dari itu mak Midah berkewajiban memenuhi janjinya. Mak Midah melantunkan nyanyian sambil menyuruh Semi menghirup asap kemenyan yang sedang dibakar diatas dupa. Beberapa waktu kemudian Semi jatuh dan mengalami kesurupan.

Dalam keadaan itu semi melakukan gerakan kearah samping, sebuah gerakan yang terdapat dalam Gandrung dan dalam tarian Srimpi dan legong. Lama-kelamaan mak Midah juga mengalami kesurupan sehingga tanpa disadari ia menyanyikan lagu kuno yang sampai saat ini masih diperdengarkan, seperti “Seblang-seblang”, “Cengkit Gading”, “Pudak Sempal”.

Semi menari di halaman rumah dengan diiringi nyanyian keluarganya. Semi yang tidak pernah belajar menari tiba-tiba lihai menari, karena kelihaian menariya dijadikanlah ia penari Gandrung untuk menggantikan penari Gandrung sebelumnya yaitu Marsan, penari laki-laki yang dikenal sebagai penari Gandrung lanang.

Sulit dicerna bahwa kisah nadir Midah menjadi bukti perkembangan seblang menjadi Gandrung. Karena Semi tidak pernah menjadi penari ritual Seblang dan mak Midah juga tidak pernah menanggap Seblang sebagai ritual seperti yang disaksikan sekarang.

Kenyataan yang tidak dapat kit abaca sekarang bahwa sebagian nyanyian atau gerakan tari dalam kesenian Gandrung mempunyai kemiripan dengan sebagian nyanyian dan gerak tari dalam ritual seblang.

Oleh sebab itu asumsi yang paling dekat adalah adanya pengaruh seblang terhadap Gandrung, sesuatu yang paling mungkin karena keduanya berjalan beriringan dalam komunitas yang sama dalam hal ini masih menjadi pertanyaan.

Meski hampir mirip dengan tayub, gambyong, jogged, lengger ketuk-tilu, teledek, dan cokek di Jawa, Gandrung tetap mempunyai karakteristik tersendiri. Selain keterkaitannya dengan seblang, lirik lagu Gandrung yang menggunakan bahasa Osing dan alunan musik paduan Jawa-Bali adalah ciri khas tersendiri yang membedakannya dari semua kesenian tradisional di atas.

Begitu juga Gending maupun substansi lirik lagu yang dengan kuat mengesankan perjuangan komunitas using dari penindasan pemerintahan kolonial, sesuatu yang menjadi bagian dari sejarah perjuangan rakyat Blambangan, sejak perlawanannya terhadap VOC hingga di masa kemerdekaan.

Sampai saat ini belum ditemukan data dan keterangan kapan, dimana, oleh siapa, bagaimana kesenian gandrung diciptakan pertama kali. Keterangan yang selalu di pakai oleh peneliti kesenian adalah ketika Gandrung telah berkembang di masyarakat luas.

Eksistensi tarian Gandrung

Gandrung terdiri dari orang osing yang tinggal dan tersebar berbagai desa di Banyuwangi seperti desa Kemiren, Karangasem, Cungking, Olehsari, Bakungan, Mangir, Pancoran, Genitri, Boyolangu, Gambiran, Gontoran, Genitri, Parijatah, Rogojampi, merupakan desa ynag banyak melahirkan penari dan seniman Gandrung; di desa tersebut juga terdapat grup-grup Gandrung professional yang di pimpin oleh sang penari.

Tidak semua desa menjadi konsentrasi permukiman using, terdapat grup atau seniman penari gandrung. Bahkan beberapa desa Using menolak pertunjukan Gandrung dengan alasan historis keseniannya. Bagi beberapa desa seperti Penataban, Lateng, tukang Kayu, Kemasan menolak pementasan tarian Gandrung, larangan tersebut berlaku hingga sampai saat ini.

Selain desa yang menolak peentasan tarian gandrung secara mistis terdapat pula desa Using yang menolak Gandrung dengan alasan agama. Desa Using yang rata-rata memeluk Islam puritan seperti desa-desa yang terdapat pesantren di dalamnya menolak pertunjukan tarian Gandrung di desanya, sekalipun desa tersebut telah melahirkan seniman atau penari Gandrung.

Terjadi juga polarisasi pandangan terhadap Gandrung berdasarkan kampong atau wilayah rukun warga dalam satu desa seperti kelurahan Boyolangu (Giri) yang seluruhnya Using; warga di RW 01 dan 02 biasa mementaskan Gandrung, namun warga di RW 03 dan 04 menolaknya.

Nurul, penduduk Songgon lulusan Universitas Arul Ulum Jombang (Jawa Timur), menyatakan tidak pernah menonton Gandrung sekalipun karena pandangan lingkungan keluarga dan social sekitarnya yang mengharamkan menonton kesenian ini.

Warga Using dan desa-desa yang menolak Gandrung jauh lebih sedikit disbanding yang menerimanya. Dalam realitanya, pementasan tarian Gandrung sangat meluas tidak hanya di sebagian desa-desa Using namun juga di desa yang penduduknya Jawa dan Madura. Penduduk Madura yang bermukim di desa Wongsorejo, Glenmore, dan Kalibaru.

Sedangkan penduduknya Jawa bermukim pada desa Cluring, Gambiran, Genteng, dan Sempu sangat sering mementaskan tarian Gandrung dalam rangka hajatannya. Bahkan Belakangan ini tarian Gandrung sering diundang pentas oleh masyarakat Jawa, Jember, Lumajang, Situbondo, Bondowoso, dan Madura, serta masyarakat Bali di Kabupaten Jembrana dan Negara.

Penutup

Demikianlah pembahasan mengenai sejarah Perkembangan Tarian Gandrung di Banyuwangi. Semoga pembahasan tersebut dapat memberikan pelajaran dan pengetahuan tentang sejarah, serta menambah wawasan dalam informasi sejarah.

Posting Komentar untuk "Perkembangan Tarian Gandrung di Banyuwangi"