Tradisi Lokal "Selametan Maleman" Masyarakat Kecamatan Ambulu
Secara historis, pulau Jawa memiliki catatan budaya yang panjang mulai dari sebelum masuknya Hindu-Budha, Islam, hingga bangsa barat.
Oleh karena itu, tak heran apabila budaya Jawa mengalami perkembangan yang dinamis, sehingga menjadi tradisi dari masing-masing daerah di Pulau Jawa. Pada umumnya, budaya itu mereka gunakan sebagai sarana penyampaian pesan simbolik antar sesama manusia, dengan Tuhan maupun lainnya.
Menurut Herusatoto (dalam Endraswara, 2013) dinyatakan bentuk-bentuk simbolisme dalam budaya Jawa yang sangat dominan dalam segala bidang. Bentuk-bentuk simbol tersebut dibedakan jadi 3
- Tindakan simbolis dalam religi,
- Tindakan simbolis dalam tradisi, dan
- Tindakan simbolis dalam kesenian.
Melalui simbol-simbol ini, maka pesan-pesan ajaran agama atau religi, nilai-nila etis, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dapat disampaikan kepada semua warga masyarakat. Sehingga adanya upacara tradisional itu sekaligus merupakan sistem sosialisasi.
Upacara tradisional atau selamatan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa bertujuan memperoleh keselamatan hidup agar tidak ada gangguan apapun.
Selain itu juga memiliki tujuan sebagai tanda atau peringatan suatu kejadian, sebagai media atau perantara dalam religi, tindakan tradisi, serta sebagai media pembawa pesan maupun nasehat.
Tradisi Jawa banyak macam dan jenisnya, salah satunya adalah tradisi selamatan. Tradisi selamatan diantaranya berupa selamatan kelahiran, perkawinan, kematian, khitanan, pindah rumah, dan masih banyakiilagi jenisnya. (Saefullah, 2008:81).
Saat Ramadhan tiba, masyarakat Ambulu umumnya mengadakan upacara tradisional atau tradisi selametan maleman.
Mereka melakukan sebuah kebiasaan seperti menghantarkan berkat atau kotak makanan ke tetangga dan saudara-saudaranya, menyajikan sandhingan diatas tempat tidur lengkap dengan jajanan tradisional, nasi, lauk dan kopi maupun the hangat.
Mereka melakukan tradisi selametan maleman pada bulan Ramadhan tepatnya malam 20 ke atas terutama pada malam-malam ganjil untuk mendapat malam seribu malam atau malam Lailatul Qadar.
Masyarakat yang sudah maju, norma-norma dan nilai-nilai dipelajari dalam dunia pendidikan. Karena budaya dan agama merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan, keduanya sama-sama memiliki beberapa nilai-nilai positif baik.
Budaya merupakan turunan nenek moyang, yang akan diteruskan menjadi sebuah tradisi sejarah dengan mematuhi nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengetahui apa saja nilai-nila yang terkandung dalam tradisi selametan maleman ini.
a. Hakekat Nilai
Menurut Saefullah nilai merupakan konsep abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Istilah nilai dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya “keberhargaan”(worth) atau “kebaikan” (goodness).
Nilai menunjuk kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam melakukan penilaian. Sedang menurut Chabib Thoha nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu atau (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (manusia yang meyakini). Jadi, nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia.
b. Agama dan Budaya
Agama menurut etimologi adalah berasal dari bahasa sansekerta, yaitu kata a = tidak, dan gama = kacau. Dengan demikian berarti agama adalah tidak kacau. Sedangkan menurut terminologi adalah sebagaimana yang telah didefinisikan oleh para ahli, sebagai berikut.
- WJS. Poerwadarminto, Agama adalah segenap kepercayaan (kepada Tuhan serta dengan kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.
- Sidi Gazalba, Agama adalah kepercayaan manusia pada hubungan Yang Kudus, dihayati sebagai hakikat gaib
Budaya adalah hasil karya cipta, rasa, dan karsa. Agam memang tidak bisa lepas dari kata budaya. Banyak sekali kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang berasal dari budaya di akulturasikan dengan agama.
Keduanya sama-sama memiliki beberapa nilai-nilai positif baik dilihat dari budaya maupun agama. Budaya merupakan turunan nenek moyang, yang akan diteruskan menjadi sebuah tradisi dengan mematuhi nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Oleh karena itu, masyarakat akan susah meninggalkan tradisi atau budayanya meskipun sedikit menyimpang pada ajaran agam lain, mereka masih saja menjalankannya.
c. Tradisi Selametan Maleman
Selametan malaman hanya dilakukan pada bulan suci Ramadhan untuk kita berbagi rezeki kita kepada orang lain atau sebagai rasa syukur manusia. (Nurhayati, 2019).
Menurut (Partokusumo dalam Ridhwan, 2008) menyebut corak sinkretisme Islam menjadi lebih berkembang, khususnya di Jawa, dikarenakan penyebaran Islam di Indonesia kala itu sangat dipengaruhi berbagai pandangan mistik dari Persia dan India.
Purwadi (2005:22) menyatakan bahwa selamatan adalah upacara sedekah makanan dan doa bersama yang bertujuan memohon keselamatan dan ketentraman untuk ahli keluarga yang menyelenggarakan. Acara selametan dimulai dengan doa bersama, duduk melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk.
Selametan maleman ini dilakukan pada hari ke-21 yang merupakan awal dari sepuluh terakhir bulan Ramadhan dan menurut orang-orang, ini adalah hari dimana seseorang bisa mendapatkan pahala dibebaskan dari api neraka (inkum minannar kedalam bahasa Arab).
Makanya dilakukan hantaran-hantaran agar semakin berkah. Tujuan selamatan ini adalah sebagai jembatan untuk meraih yang namanya Lailatul Qadar. Oleh karena itu, untuk membantu mendapatkan hal tersebut maka dilakukanlah tradisi selamatan maleman ini.
Penutup
Demikianlah pembahasan mengenai sejarah Tradisi Lokal "Selametan Maleman" Masyarakat Kecamatan Ambulu. Semoga pembahasan tersebut dapat memberikan pelajaran dan pengetahuan tentang sejarah serta menambah wawasan dalam informasi sejarah.
Posting Komentar untuk "Tradisi Lokal "Selametan Maleman" Masyarakat Kecamatan Ambulu"
Posting Komentar
Jika ada yang ingin disampaikan, silahkan tinggalkan pesan dikolom komentar :)