Soetardjo Kartohadikoesoemo : Pejuang di Medan Kursi Volksraad

soetardjo kartohadikoesoemo

Biodata Singkat Tokoh

Soetardjo Kartohadikoesoemo lahir di dekat Blora, Jawa Tengah pada tanggal 22 Oktober 1982. Beliau dikenal sebagai seorang yang vokal dan tidak takut dalam memperjuangkan rakyat Indonesia di kursi Volksraad.

Beliau menjadi anggota wakil rakyat di Volksraad. Volksraad inilah menjadi sarana bagi Soetardjo Kartohadikoesoemo sebagai penentang atau pemrotes dari kebijakan kolonial yang dinilai merugikan rakyat.

Soetardjo sangat peduli dengan situasi rakyat pada saat itu, sehingga bertekad memperjuangkan nasib rakyat untuk memiliki hajat hidup yang layak di segala aspek, baik pendidikan, sosial, maupun ekonomi.

Riwayat Pendidikan dan Profesi

Sebelum menjadi anggota Volksraad, beliau sempat menempuh pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School). Sesudah menyelesaikan studinya di ELS, kemudian beliau mengikuti seleksi menjadi pegawai rendah (Kleneambtenaar).

Akan tetapi, beliau tidak jadi mengikuti seleksi tersebut dan berusaha untuk meneruskan pendidikannya di OSVIS (Opleiding School Voor Indlandsche Ambtenaren) (Marihandono et al, 2016).

OSVIS merupakan sekolah ditujukan khusus bagi pegawai atau pekerja Pamong Praja. Saat menuntut ilmu di OSVIS ini, Soetardjo mulai mengetahui pergerakan dengan organisasinya.Beliau tercatat hingga tahun 1911, menjabat ketua dari cabang Boedi Oetoemo. 

Setelah lulus pendidikan di OSVIS, beliau kemudian kerja (magang) di Blora, tepatnya di kantor Asisten Residen. Setelah satu tahun bekerja, beliau kemudian dijadikan Pembantu Juru Tulis  (Hulpschrijver) di Rembang, tepatnya di kantor Residen.

Dua tahun setelahnya, beliau diangkat menjadi asisten wedono di daerah Bogorejo, Blora. Pada saat menduduki jabatan ini, muncullah gagasan dari Soetardjo. Tercatat, beliau pernah menjadi pelopor dalam berdirinya koperasi yang bertujuan untuk memperbaiki kehidupan rakyat pada saat itu dan menjauhi rakyat dari tengkulak atau lintah darat.

Beliau  juga berhasil menggagas berdirinya (PPBB) atau Persatuan Pegawai Bestuur Bumipoetera. Organisasi ini adalah organisasi yang mengumpulkan aparat pemerintah bumiputera atau pamong praja. Setelah menjadi anggota Volksraad, tercatat pada tahun 1943, beliau menjabat sebagai Residen di Batavia yang saat itu diduduki oleh Jepang.

Menjadi Anggota Volksraad

Pemikiran serta gagasan yang vokal dan kritis dari Soetardjo pada saat di organisasi PPBB mengantarkan beliau menjadi anggota Volksraad. Propaganda dari PPBB yang dilaksanakan selama bertahun tahun mendapat hasil yang baik.

Seluruh calon yang diusulkan oleh PPBB ini yang tersebar di seluruh pulau jawa terpilih menjabat wakil rakyat di Volksraad. Dari wilayah pemilihan Jawa Timur, tersedia 4 kursi.

Dari hasil penghitungan suara, didapatkan suara terbanyak dengan penjabaran : Soetardjo Kartohadikoesoemo mendapatkan 34 suara, sedangkan RAA Soejono mendapatakan 32 suara (Marihandono et al, 2016). Di sisi lain, dua calon lainnya tidak hadir saat penetapan suara tersebut. Maka dari itu, Soetardjo dan Soejono dikukuhan menjadi wakil rakyat di Volksraad.

Semenjak menjabat sebagai wakil rakyat di Volksraad, Seotardjo mengabdikan dirinya sebagai senjata dalam membela rakyat. Beliau memanfaatkan kewenangan dan hak wakil rakyat Volksraad, jika ada suatu kebijakan yang merugikan bagi rakyat, maka langsung diprotes dan di amandemen. Soetardjo sering memberikan jalan keluar dalam permasalahan yang ada di dalam masyarakat.

Di bidang pendidikan, beliau menganggap perlu adanya sebuah keharusan diampu oleh aparat pemerintah bumiputera (Marihandono et al, 2016). Dengan adanya pendidikan yang maksimal, maka pelayanan yang diberikan kepada masyarakat akan jauh lebih baik.

Di bidang hukum, beliau juga pernah menyampaikan kritik nya terhadap permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat. Menurut beliau, adanya sebuah ketimpangan keadilan yang terjadi antara aparat bumiputera dengan aparat eropa.

Aparat eropa dirasa kebal hukum, walaupun yang salah aparat eropa tetap aparat bumiputera yang menanggung resikonya. Akhirnya, untuk memberikan rasa egaliter bagi aparat bumipitera dan aparat pemerintah, beliau menyarankan penggantian istilah dari Inlander menjadi Indonesia.

Namun, usulannya tersebut ditolak oleh Parlemen Belanda. Akan tetapi, penolakan tersebut membuatnya tak patah arang dan memperjuangkannya melalui organisasinya yaitu PPBB (Persatuan Pegawai Bestuur Bumipoetera).

Inti Permasalahan yaitu adanya penderitaan dan kesengsaraan yang dialami oleh bumiputera ini seolah-olah sengaja dilakukan oleh Pemerintah Belanda. Alasannya yaitu agar jarak antara Pemerintah Belanda dan Bumiputera tetap kondusif.

Hal itulah yang dibela oleh Soetardjo, bahwa sejatinya antara kedua bangsa itu berkedudukan setara (Marihandono et al, 2016). Hal tersebut dapat ditinjau dari kebijakan pemerintah kolonial yaitu adanya pemangkasan anggaran dalam pemerintahan bumiputera.

Tak hanya itu, juga terdapat krisis kelaparan yang terjadi di Timor, intrpelasi pembatasan siswa di MULO, dan adanya konflik mengenai dualisme pemerintahan tersebut. Atas dasar tersebut, Soetardjo sangat aktif dan tidak takut dalam memperjuangkan hak-hak rakyat. Bahkan, beliau tidak ragu untuk memberikan sebuah mosi kepada pemerintahan Belanda agar mendapatkan kesetaraan. 

Gagasan Soetardjo Kartohadikoesoemo

Gagasan Kemerdekaan Soetardjo Kartodikoesoemo memiliki nilai yang mendalam. Pada hakikatnya, kemerdekaan tersebut merupakan kemerdekaan yang berkaitan dengan pemikiran dan semangat yang emansipasi, kebebasan, dan kemerdekaan yang didapatkan dari cara dialog dan kooperatif, tidak secara destruktif maupun konfrontatif.

Hal tersebut nantinya akan menimbulkan sebuah kerusakan, kehancuran, dan korban jiwa. Rasa toleransi dan solidaritas antar sesama yang disertai dengan rasa cinta tanah air merupakan batu pijakan yang fundamental dalam mewujudkan semangat kebangsaan nasionalisme, yang nantinya menjadi sebuah benih-benih mengarah ke cita-cita kemerdekaan.

Beliau juga memiliki sebuah gagasan terhadap pemimpin bangsa. Hendaknya, para pemimpin bangsa ini merawat dan menjaga kemerdekaan batin, ialah merdeka atas keinginan pribadi atau hawa nafsunya sendiri.

Hal ini berarti menjauhkan diri dari sikap mementingkan kepentingan pribadi. Beliau juga memiliki sebuah pandangan bahwa warga Indonesia yang merdeka adalah warga yang berdasarkan atas asal usul, tujuan masa depan, dan kelahiran berhubungan dengan Indonesia dan mengakui Indonesia sebagai tanah air dari mereka.

Dari pandangan tersebut, dapat dilihat bahwa beliau memiliki sebuah pemikiran dan sikap Indonesia yang pluralitas yang didasarkan atas kenyataan sosial didapati dari masyarakat kolonial yang majemuk.

Petisi Soetardjo

Pada rapat Volksraad tanggal 15 Juli 1936, Soetardjo Kartohadikoesoemo sebagai perwakilan dari PPBB yang berada di Volksraad mengusulkan sebuah petisi terhadap Pemerintah Kolonial Belanda supaya menyelenggarakan sebuah konferensi antara perwakilan Belanda dengan Bumiputera.

Konferensi tersebut didasarkan pada persamaan atau kesetaraan, dengan membuat sebuah kerangka atau rencana yang kemudian dilaksanakan di Bumiputera. Rencana tersebut disusun melalui terobosan secara sedikit demi sedikit dalam jangka waktu satu dasawarsa atau sepuluh tahun, sehingga mendapatkan otonomi maupun hak-hak yang sesuai dengan pasal 1 grondwet.

Rencana tersebut juga dapat menentukan relasi antara Hindia Belanda dengan Belanda dalam berbagai bidang seperti politik,kultural,sosial, ekonomi yang disesuaikan dengan kebutuhan tiap-tiap pihak. Usulan ini dilengkapi dengan rencana menyerahkan sebuah pernyataan tersebut kepada kedua majelis yang ada di Parlemen Belanda dan Ratu Belanda.  

Petisi tersebut ditandatangani oleh beberapa pihak, diantaranya Ratulangi,Kwo Kwat Tiong, I.J. Kasimo, dan Datoek Toemenggoeng. Para pihak yang menandatangani petisi tersebut justru berasal dari background kelompok yang berbeda, sehingga mampu mencerminkan keragaman.

Petisi tersebut sangat bersifat moderat, yang dapat menggambarkan sifat yang penuh hati-hati dalam mengambil langkah yang bersifat legal, dan di sisi lain menggambarkan sebuah sikap yang kooperatif (Marihandono et al, 2016).

Petisi yang diajukan ini tidak menyalahi rambu-rambu konstitusional pada saat itu. Karena sifat yang kooperatif tersebut, maka petisi ini dapat dikatakan tidak bersifat revolusioner. Petisi ini pun dijadikan sebagai langkah dalam mengutarakan gagasannya secara legal konstitusional.

Petisi ini diusulkan didasarkan beberapa faktor yang melatarbelakangi. Terdapat faktor politik,ekonomi, dan sosial. Faktor politik nya yaitu terdapat sebuah penangkapan para tokoh-tokoh yang dianggap membahayakan dan radikal yang dilaksanakan oleh Gubernur Jenderal De Jonge.

Faktor Ekonomi yaitu adanya sebuah krisi ekonomi dunia yang membuat Pemerintah Belanda membuat kebijakan untuk dilakukan penghematan anggaran. Selain itu, beban pajak yang dipikul oleh rakyat semakin besar. Faktor sosial yang menyebabkan ini adalah adanya ketidaksetaraan antara Pemerintah Belanda dengan Pemerintahan Bumiputera, sehingga terdapatnya ketimpangan.

Respons terhadap Petisi Soetardjo

Berbagai sikap pun bermunculan setelah dikeluarkannya Petisi Soetardjo ini. Ada yang mendukung petisi ini, namun tidak sedikit pula yang menolak petisi tersebut. Beberapa pihak yang mendukung diantaranya pers Indonesia, Pergerakan Penyadar, Partai Arab Nasional (PAI), Perhimpunan Indonesia, Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi), Pagoejoeban Pasoendan.

Alasan mendukungnya karena Indonesia dinilai sudah matang dan sepantasnya memberikan hak-hak yang lebih bagi Indonesia. Sedangkan pihak yang menolak yaitu Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Partai-partai Kristen dan Christelijke Staatkundinge Partij, Partai Nasional Indonesia (PNI Baru). Mereka menolak karena menganggap bahwa petisi ini sangat bertentangan dengan cita-cita Indonesia yang merdeka.

Setelah diselenggarakannya jejak argumen mengenai petisi Soetardjo, nyatanya tidak menemui titik temu dari seluruh anggota Volksraad yang hadir. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, maka diadakanlah voting.

Hasil penghitungan suara diperoleh 26 suara yang menyatakan setuju serta 20 suara yang lain menolak. Atas hasil tersebut, ketua Volksraad wajib meneruskan petisi tersebut kepada Menteri Koloni,Gubernur Jenderal, Parlemen Belanda, serta kepada Ratu Belanda.

Tanggal 1 Oktober 1936, petisi Soetardjo di kirimkan ke Ratu, Koloni, dan Parlemen Belanda. Namun, baru pada tanggal 16 November 1938 petisi tersebut ditolak oleh Ratu Belanda (Marihandono et al, 2016).

Dampak Petisi Soetardjo

Walaupun petisi tersebut ditolak, namun terdapat dampak yang diakibatkan dengan adanya petisi tersebut. Salah satu dampak dari Petisi Soetardjo ialah pada tanggal 21 Mei 1939 didirikannya Gabungan Politik Indoneisa (GAPI).

Pembentukan ini menggambarkan bahwa semakin bertumbuhnya rasa persatuan dan solidaritas yang tinggi dari kaum pergerakan. Pembentukan Ini pun menjadi sebuah perwujudan dari rasa persatuan yang besar dari para kaum pergerakan.

Selain itu, Orang-orang Indonesia tidak dapat mengharapkan sesuatu yang menguntungkan dari Pemerintahan Belanda. Pengharapan tersebut dapat berupa kemerdekaan ataupun paling tidak pemberian otonomi seperti yang diminta dalam Petisi Soetardjo.

Petisi Soetardjo tersebut lahir bukan dari pertentangan pemikiran yang berhubungan dengan ide atau gagasan yang besar dan fundamental. Petisi tersebut berawal dari rasa kegalauan  mengenai situasi serta taraf kehidupan rakyat.

Petisi tersebut lahir di tengah keadaan pergerakan dan nasionalisme mengalami pertentangan keras dari Pemerintah Belanda. Petisi ini hadir sebagai strategi alternatif dalam menyikapi sikap Pemerintah Belanda terhadap pergerakan nasional.

Walaupun petisi ini mengalami penolakan, akan tetapi beliau masih tetap membela kepentingan rakyat hingga masa pendudukan Jepang. Maka dari itu, Soetardjo tak pernah putus asa dan selalu bertekad untuk memperjuangkan nasib hidup rakyat.

Penutup

Demikianlah pembahasan mengenai Tokoh Sejarah Soetardjo Kartohadikoesoemo. Semoga pembahasan tersebut dapat memberikan pelajaran dan pengetahuan tentang sejarah, serta menambah wawasan dalam informasi sejarah.

Posting Komentar untuk "Soetardjo Kartohadikoesoemo : Pejuang di Medan Kursi Volksraad"