Perkembangan Stasiun Bondowoso Hingga Menjadi Museum Sebagai Stasiun Peninggalan Belanda

perkembangan stasiun bondowoso

Dari pengertian bahasa kata Bondowoso berasal dari bahasa Kawi / Sansekerta /Sanskrit, yakni yang terdiri dari kata. Bondo yang berati kekayaan, kesuburan, kemakmuran; dan kata Woso yang bermakna kekuasaan atau penguasa.

Sehingga, sebagai satu kesatuan, kata Bondowoso dapat diartikan sebagai daerah yang kaya, subur dan makmur, yang berada dalam naungan kekuasaan atau dipimpin oleh seorang penguasa yang arif dan bijaksana.

Menurut catatan sejarah, kota Bondowoso diperkirakan berdiri sekitar abad ke-XIII Masehi sebagai bagian dari wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit. Dari sejak awal pendiriannya, kota ini telah memiliki hak otonomi setingkat Kadipaten dengan Adipati Bondowoso sebagai Adipati pertamanya.

Karena berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit, Hindhu adalah agama yang banyak dianut penduduk saat itu, sementara sebagian penduduk lainnya masih menganut aliran kepercayaan yang masih kental.

Berkaitan dengan kepercayaan di kalangan masyarakat kala itu, jajaran pegunungan Raung, Argopuro dan Semeru yang menghampar di latar belakang kota Bondowoso dipercaya merupakan tempat bermukimnya dewa-dewa yang memberi perlindungan dan keselamatan pada penduduk kota Bondowoso .

Menurut sumber bacaan yang ada di museum kereta api Bondowoso, kota tersebut diberi nama Bondowoso tepat di hari kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1819 yang bertepatan pada hari Selasa Kliwon, 25 Syawal 1234 H. kemudian peringatan Hari jadi Bondowoso ditetapkan oleh Pemerintahan Kabupaten Bondowoso melalui Perda No. 05/2011 setiap 25 Syawal .

Ada banyak bangunan peninggalan Belanda di Bondowoso, salah satunya yaitu Stasiun Bondowoso yang sekarang sudah tidak aktif lagi dan menjadi Museum Stasiun Bondosowo. Bangunan Stasiun Bondowoso merupakan produk arsitektur kolonial Belanda yang mulai dioperasikan pada tahun 1893.

Sebagaimana tujuan pembangunan stasiun kereta api pada umumnya di zaman itu yang mengandalkan kereta api sebagai alat transportasi yang cukup penting. Bangunan Stasiun Kota Bondowoso difungsikan untuk mengembangkan infrastruktur Kota Bondowoso pada saat itu.

Sejarah Dan Perkembangan Stasiun Bondowoso

Stasiun Bondowoso menjadi saksi bisu tragedi gerbong maut Bondowoso. Sebanyak seratus pejuang ditawan serdadu Belanda dalam rangkaian Agresi Militer Belanda I. Penangkapan dan penahanan pejuang rakyat yang dilakukan pihak muuh diseluruh wilayah menyebabkan penjara Bondowoso tak mampu lagi menampungnya.

Demi keamanan, 100 orang pejuang kemudian dipindahkan anquasa Belanda ke penjara Kalisosok Surabaya pada 23 Nopember 1948 Para pejuang diangkut dengan kereta api dari stasiun Bondowoso menuju stasiun Wonokromo Surabaya.

Untuk pengangkutan tahanan, pihak penguas Belanda hanya menyediakan 3 gerbong sempit yang tidak memiliki ventilasi sedikitpun. Para pejuang dipaksa berjejalan dalam suasana pengap dan panas. Di dalam, mereka menggedor-gedor dinding gerbong sambil bertenak meminta agar pintu gerbong dibuka, tapi tidak ada satupun jawaban dari para penjaga vang mengawal.

Mereka juga mencoba mendobrak pintu gerbong namun tidak berhasil karena pintu gerbong terkunci rapat. Dalam keadaan demikian, sebagian dari mereka berusaha menghirup udara segar melalui lubang-lubang kecil di dinding gerbong, namun sebagian lainnya kemudian mulai hilang kesadarannya .

Selain penderitaan akibat kondisi gerbong, para tahanan di sepanjang perjalanan menuju Surabaya juga tidak diberikan makan dan minum sama sekali Permintaan makan para pejuang ditanggapi penjaga dengan menawarkan pelurunya pada mereka.

Bahkan konon, untuk menghilangkan rasa hausnya sebagian dari mereka terpaksa harus minum air kencingnya sendiri. Keesokan harinya saat gerbong dibuka di Wonokromo, berjatuhan tubuh para tahanan dari calam gerbong, mereka seperti tak memiliki tenaga lagi.

Serta, dari 100 tahanan yang diangkut 46 orang diantaranya meninggal, 11 orang hampir maii, 31 orang am kondisi sakit, dan hanya 12 yang masih dalam keadaan sehat mayat-mayat mereka diangkat kondisinya amat menyedihkan, ada yang uinya melepuh dan tubuhnya menjadi begitu lembek.

Pembangunan jalur kereta api sepanjang 89 km, yang menghubungkan Jember-Panarukan melewati Bondowoso dilakukan oleh Staatsspoorwegen. Desain pembangunan dibuat dan dikerjakan pada 23 Juni 1893.

Saat itu Staatsspoorwegen berencana membangun rel kereta api dari Propolinggi ke Jember dan diteruskan hingga Panarukan melewati Bondowoso. Pada tahun 1895, rel yang membentang dari Probolinggo ke Klakah sepanjang 34 km selesai dibangun. Disusul kemudian pembangunan rel sepanjang 36 km dari Klakah ke Pasirian selesai pada 16 Mei 1896.

Menurut sumber bacaan yang ada di museum kereta api Bondowoso, bangunan Stasiun Kereta Api Bondowoso merupakan produk arsitektur Belanda yang mulai dibangun pada  tanggal 23 Juni tahun 1893.

Stasiun ini berlambang Indische Empire Style yaitu suatu gaya arsitektur Barat yang berkembang pada abad ke-18 dan 19, sebelum terjadinya “westerniasai” pada kota-kota di Indonesia di awal abad ke-20. Untuk gaya Indische Empire Style pada bangunan ini telah disesuaikan dengan iklim, teknologi dan bahan bangunan setempat .

Pada Juni 1897, pembangunan rel kereta api dari Klakah ke Jember sepanjang 62 km juga selesai dibangun. Sedangkan sisanya yaitu pembangunan rel kereta api sepanjng 89 km dari Jember-Kalisat-Bondowoso-Panarukan melewati Sumberkolak.

Situbondo selesai dan siap beroperasi pada 1 Oktober 1897. Pembangunan jalur tersebut merupakan kelanjutan dari pembangunan rel kereta apai yang sudah ada yaitu jalur Bangil-Panarukan-Probolinggo yang beroperasi sejak tahun 1884.

Stasiun Bondowoso Menjadi Museum Stasiun Bondowoso

Pada tahun 2004 PT Kereta Api (Persero) memutuskan menutuo jalur ini karena penumpangnya sepi dan biaya operasional yang cukup besar. Kemudian Stasiun Bondowoso diresmikan menjadi Kereta Api Bondowoso.

Peresmian diadakan pada tanggal 17 Agustus 2016 bertepatan dengan ulang tahun ke-71 Indonesia oleh Bupati Bondowoso yaitu Drs. H. Amin Said Husni. Museum kereta api Bondowoso merupakan museum kereta api pertama di Jawa Timur dan menjadi salah satu museum kereta api di Indonesia setelah Ambarawa dan Sawahlunto.

Banyak barang-barang peninggalan sejarah yang terdapat di Museum Stasiun Bondowoso ini. Koleksi museum Bondowoso ini terdiri dari peralatan kerja yang pernah digunakan kereta api dari masa ke masa seperti berikut ini:

1. Lampu Hensen

Lampu ini adalah lampu yang berguna yang digunakan oleh petugas operator kereta api dalam memberikan tanda kepada masinis apakah kereta akan berangkat, berhenti, atau tetap melaju di stasiun tertentu pada malam hari.

Lampu merah memerintahkan kereta untuk berhenti dan lampu hijau memerintahkan kereta untuk pergi atau melanjutkan perjalanan.

2. Mesin Ketik

Mesin ketik adalah mesin yang terdiri dari sekumpulan tombol.  Jika tombolnya ditekan maka akan mencetak huruf atau karakter pada sebuah media (kertas).  Mesin ketik pertama kali dibuat oleh Henry Mill pada tahun 1714. Kemudian pada tahun 1829, William Justin Burt dengan sempurna menciptakan sebuah mesin bernama "typowriter" yang kini dikenal sebagai mesin tik pertama. 

Tahun 1890 adalah tahun dimana mesin ketik disebarkan ke kantor dan perusahaan.  Beberapa merek tersebut adalah: Royal, Remington, Underwood, Hermes, Halda, Erika, IBM (International Business Machines), Smith Corona, Olympia, Olivetti, Continental, Oliver, Siemag, Adler, RC.Allen, dan Vios.

3. Karcis Edmondson

Sistem karcis Edmondson mulai diperkenalkan di Hindia Belanda oleh NIS (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij) pada tahun 1867 untuk lintas Semarang-Tanggung dan tahun 1871 untuklintas Batavia (Jakarta).

Pada tahun 1878 Staatsspoorwegen juga menggunakan sistem ini untuk lalu-lintas tujuan dari Surabaya menuju Pasuruan Bandung.

4. Mesin Cetak Tanggal karcis Edmondson

Alat ini untuk digunakan mencetak tanggal pada karcis / tiket Edmondson (dd/mm/yy) yang berlaku pada hari keberangkatan penumpang. Mesin ini tersedia disetiap stasiun yang menjual karcis / tiket kereta api.

5. Mesin Hitung

Pada tahun 1642 Blaise Pascal menemukan mesin hitung mekanik pertama yang dinamakan Pascaline. Namun cara penggunaannya yang agak sulit karena fungsi mekaniknya yang tergolong cukup rumit dan kompleks.

Lalu pada tahun 1820 ditemukanlah kalkulator mekanik yang dinamakan Arithmometer oleh Charles Xavier Thomas de Colmar. Arithmometer kemudian dikembangkan menjadi mesin Odhner pada tahun 1873 oleh W.T. Odhner.

6. Semboyan 40

Semboyan 40 merupakan rambu yang diberikan oleh operator kereta api dengan cara mengangkat stik rambu berwarna hijau berbentuk bulat.  Tanda 40 berarti kereta diizinkan untuk melanjutkan perjalanannya.  Semboyan 40 biasanya diikuti dengan tanda 41 (peluit tunggal ditiup) oleh kondektur kemudian diikuti tanda 35 (klakson lokomotif tiup tunggal) oleh masinis.

7. Stempel

Stempel adalah benda atau alat yang permukaannya terdapat gambar, tulisan, atau keduanya yang diukir sehingga menghasilkan stempel.  Ini digunakan untuk menandai gambar atau teks yang mewakili keberadaan seseorang

(misalnya, Raja atau presiden) atau kelompok (misalnya, Instansi pemerintah atau perusahaan).  Logam, Kayu dan karet elastis adalah bahan yang digunakan untuk membuat stempel.

8. Telepon

Sebelum sistem radio lokomotif diterapkan, pesawat telepon lapangan hanya digunakan pada kondisi darurat seperti gangguan selama perjalanan kereta api.  Petugas lapangan menggunakannya dengan menghubungkan kabel antena telepon ke "kabel T" yang melintasi jalur kereta api.

Adapula beberapa miniatur lokomotif, berbagai foto pejuang, foto-foto tentang cerita Gerbang Maut Bondowoso dan pernak pernik peninggalan masa perjuangan pahlawan Indonesia di Bondowoso. Hingga saat ini Museum Kereta Api ramai dikunjungi oleh masyarakat.

Penutup

Demikianlah pembahasan mengenai Perkembangan Stasiun Bondowoso Hingga Menjadi Museum Sebagai Stasiun Peninggalan Belanda. Semoga pembahasan tersebut dapat memberikan pelajaran dan pengetahuan tentang sejarah, serta menambah wawasan dalam informasi sejarah.

Posting Komentar untuk "Perkembangan Stasiun Bondowoso Hingga Menjadi Museum Sebagai Stasiun Peninggalan Belanda"